Sabtu, 26 Mei 2012

Di Sini Saya Lahir

Pegayaman, Pesona Kampung Muslim Bali


pencakBanyak orang mengira bahwa Bali adalah Hindu dan Hindu adalah Bali. Pandangan itu mungkin benar. Karena hampir semua orang Bali beragama Hindu. Namun, pernahkah Anda mendengar sebuah perkampungan muslim di Bali?.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat Hindu-Bali yang sarat dengan ritual keagamaan dan adat-istiadatnya yang kental, perkampungan muslim itu memberikan warna tersendiri bagi Bali. Itulah Pegayaman, sebuah nama desa muslim di Bali yang ada di wilayah Kecamaan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara.
sokok2Nenek moyang mereka berasal dari tanah Jawa dan Makasar-Bugis yang datang sekitar abad XVI. Pada masa itu, Bali Utara diperintah seorang raja bernama I Gusti Ngurah Panji Sakti (Ki Barak Panji Sakti). Pada saat perluasan wilayah, Ki Barak Panji Sakti meminta bala bantuan kepada Kerajaan Blambangan sehingga memperoleh kemenangan. Sebagai tanda persahabatan, Raja Mataram memberikan hadiah gajah membawa kebudayaan telah masuk ke Bali sejak abad ke-17 atau mungkin abad sebelumnya. kepada Raja Panji Sakti. Sebagai rasa terima kasih, Raja Panji Sakti menghadiahkan tempat permukiman di wilayah hutan sebelah selatan yang dikenal sebagai Desa Pegayaman.


 
Sedangkan, perantau asal Makasar-Bugis, menurut keterangan lontar yang terdapat di Gedong Kertya, Singaraja, pada masa pemerintahan Panji Sakti pada 1650, sekelompok imigran Islam datang. Kemudian, beberapa di antara mereka bermukim di Pegayaman. Imigran tersebut diduga sebagai orang-orang Makasar-Bugis, sebab mereka tiba setelah kedatangan orang-orang Mataram Islam. Naya Sujana (1999:47-48) menyebutkan, Islam Bali adalah kelompok sosial yang ikut menjadikan masyarakat Bali majemuk. Masyarakat Bali sebenarnya telah berkembang menjadi masyarakat majemuk (plural society). Sejak zaman dahulu semasih raja-raja Bali berkuasa, orang-orang Islam dari luar Bali yang
Profil Pegayaman
pawai2Penduduk Pegayaman kini berjumlah 5.045 jiwa yang 90% penduduknya beragama Islam. Luas lahannya 1.584 hektare dan merupakan tanah dengan hamparan sawah dengan dataran tinggi yang berbukit-bukit yang sangat baik untuk daerah perkebunan. Sehingga cocok ditanami kopi dan cengkeh. Kopi Pegayaman memiliki rasa yang khas karena dicampur dengan bunga cengkeh atau terkadang juga jahe. Masyarakat di sana berkeyakinan, kopi Pegayaman dapat dipakai sebagai penghilang rasa pusing dan mual. Tidak mengherankan jika masuk ke Pegayaman, kita akan disuguhkan secangkir kopi yang rasanya khas itu.
Orang Pegayaman memiliki nama-nama yang unik, perpaduan antara nama Bali dan Islam. Misalnya untuk anak pertama, mereka membubuhkan nama Wayan. Anak kedua Nengah, anak ketiga Nyoman, dan keempat Ketut. Setelah memakai urutan nama Bali itu, baru mereka membubuhkan nama Islam. Misalnya, Wayan Imam Muhajir, Nengah Ibrahim Saleh, Nyoman Siti Hikmawati, dan Ketut Syahruwardi Abbas. Orang Bali memanggil orang di Pegayaman dengan sebutan nyama selamyang artinya orang Islam dan orang Pegayaman memanggil orang Bali di sekitarnya dengan sebutan nyama Bali. Nyama berarti sedulur (bahasa Jawa)= saudara.
Asimilasi dan akulturasi
kasidahAdanya perkawinan antara tiga etnis (Jawa-Bali-Bugis) dan pemberian nama di Pegayaman merupakan satu contoh terjadinya asimilasi, yaitu penyesuaian atau (peleburan) sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungannya. Peleburan yang terjadi tidak hanya sebatas itu, namun juga dalam melaksanakan perayaan keagamaan lainnya. Sehingga, terbentuklah akulturasi budaya, yaitu; sebuah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi.
Contohnya dalam perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW (perayaan kelahiran Nabi), selain mengikuti tata cara dalam agama Islam, orang Pegayaman juga mengikuti adat kebiasaan masyarakat Hindu-Bali. Orang Pegayaman juga mengenal adanya hari penapean, penjajaan,danpenampahan yang dilakukan sebelum perayaan Maulid dan Idul Fitri. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali yang juga dilakukan sebelum perayaan Galungan dan Kuningan.
Pada hari penapean, para wanita membuat jajan tapai yang dibuat dari ketan putih dan diberi pewarna hijau dari daun suji atau daun kayu manis/daun katuk.
mesjidSedangkan, pada hari penjajaan, banyak kue-kue tradisional yang disebut jaja dibuat. Seperti jaja uli (terbuat dari beras ketan putih yang telah di masak dan ditumbuk sehingga menjadi kenyal (biasanya sebagai teman memakan tapai ragi tersebut), jaja satuh, jaja kue-kue kering yang terbuat dari tepung beras, tepung terigu ataupun sagu, jaja kuping gajah, jaja bolu, dan lain sebagainya. Pada hari ketiga, sehari sebelum Maulid disebut sebagai hari penampahan yang diwarnai dengan memotong sapi. Tradisi yang terjadi adalah, warga desa bersama-sama menanggung (patungan) untuk membeli sapi yang dagingnya dapat dibagi-bagikan ke seluruh penduduk desa.
‘Sokok’
sokokAda yang menarik dari perayaan Maulid di Pegayaman. Mereka membuat sokok base dan sokok taloh. Sokok berarti sebuah tempat yang terbuat dari gedebok pisang dengan tinggi kira-kira 50cm. Sedangkan base adalah daun sirih.Sokok base itu dihias dengan daun sirih dan bunga-bunga aneka warna. Sokok yang ada di Pegayaman sebagai pengganti dulang, yang pada orang Hindu-Bali berfungsi untuk menjunjung sesaji di atas kepala berisi buah-buahan. Sedangkan sokok talohberupa telur-telur yang dihias dan diwarnai kulitnya.
Orang Pegayaman berkeyakinan, sokok berisi bunga-bunga, daun pisang, dan sirih itu sebagai obat dan membawa syafaat atau berkah dari Nabi Muhammad. Banyak di antara mereka yang juga percaya bunga-bunga itu memiliki kekuatan untuk mengusir hama di sawah dan kebun. Sedangkansokok taloh memiliki arti filosofis bahwa bulatnya telur sebagai perlambang dunia yang bulat. Kulitnya yang diasumsikan sebagai ajaran Islam dari luarnya, sedangkan putih telur merupakan simbol dari isi ajaran Islam, dan kuning telurnya mengartikan intisari ajaran Islam. Sedangkan kayu yang dibuat untuk menusuk telur dimaksudkan bahwa Islam itu bersifat fleksibel dan dinamis, tidak kaku dan universal.
‘Hadrah dan Bordah’
Hadrah dan Bordah merupakan kesenian khas Pegayaman. Hadrah dan Bordah hanya tampil pada waktu-waktu khusus. Misalnya pada saat perayaan Maulid Nabi, Khitanan, dan upacara pengantin. Pemain Hadrah kebanyakan dari kalangan muda. Sedangkan Bordah dilantunkan kalangan tua saja. Mereka berdoa sambil bernyanyi dengan syair surat Barzanji dengan melenggak-lenggokkan badan diiringi tabuh rebana yang dipakai turun-temurun dari nenek moyang. Surat Barzanji itu berisikan riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad dari lahir sampai dengan wafatnya.
hadrahKostum yang dipakai para hadrah hanya berupa celana panjang hitam, peci dan kemeja putih dengan selempang di dada. Sedangkan pada kelompok bordah, mengenakan baju seperti orang Hindu-Bali yang akan bersembahyang ke pura, lengkap dengan destar atau udeng (ikat kepala) dan lancingan (kain). Cengkok-cengkok Surat Barjanzi yang dibacakan mirip dengan kakawin, kidung, dan geguritan Bali. Padahal, bahasa yang dilantunkan menggunakan bahasa Arab.
Para tetua di Desa Pegayaman sangat merisaukan perkembangan kesenian ini di masa depan. Karena anak-anak muda kurang berminat belajar dan memainkannya. Sudah sejak zaman nenek moyang mereka, Bordah dimainkan kalangan tua saja. Mungkin karena kidung-kidung yang ditembangkan terasa sulit untuk dipelajari. Apalagi alat musik itu merupakan alat musik yang diwariskan secara turun-temurun dan tidak boleh sembarang orang memakainya. Zaman dulu, kesenian ini di dendangkan untuk upacara penyambutan tamu raja dan upacara mengusir setan yang diarak keliling desa.
kesenian bordahSayang sekali jika pada akhirnya kesenian ini harus hilang. Karena itu merupakan suatu bukti yang kuat terjadinya asimilasi dan akulturasi budaya yang terjadi di Pegayaman. Keadaan itu juga lebih diperparah lagi karena kurangnya perhatian Pemerintah Pusat Provinsi Bali pada kesenian ini yang kurang mendapatkan tempat. Meskipun pada acara ulang tahun Buleleng-Singaraja mereka bisa tampil, tidak pernah ada pada Pesta Kesenian Bali yang diselenggarakan setiap setahun sekali. Padahal, dengan melestarikan kesenian dan budaya yang ada di Pegayaman, akan memperkaya Bali sebagai Pulau Seribu Pura yang unik dan pluralistik di tengah kehidupan masyarakatnya yang religius dengan pesonanya tersendiri.
Ditulis oleh : Susi Andrini, Pengamat Budaya, Alumni S-2 Kajian Budaya, Universitas Udayana, Denpasar

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar